Minggu, 21 Agustus 2016

Dia…..Bukan Dia!


Jaraknya hampir 20 meter dari tempat parkir ini, ku parkirkan sepeda motorku diantara kendaraan lainnya. Aroma tanah yang baru saja dicumbu hujan menguap singgah di indera penciumannku, masih tampak sisa-sisa tetes hujan diujung dedaunan yang tengah rimbun akan buah-buah kecil hijau yang masih tampak setengah matang, belum bisa dipetik. Sengaja ku pelankan langkah ini demi menikmati setiap memoriku di salah satu café ternama ini. ‘Seladang kupi’ Sebuah kedai bagi pencinta kopi yang sengaja dibuat di tengah kebun kopinya langsung, penikmat kopi harus berjalan dari parkiran melewati kebun kopi yang sensasinya semakin menjanjikan aroma dan rasa bagi penikmat kopi sejati.
Aku bukan penikmat kopi,  benar-benar tak habis pikir akan mereka yang menyukai air hitam yang pahit rasanya, tak ada merasakan kesegaran dalam setiap tegukannya. Namun aku menyukai aromanya sejak 5 tahun lalu, saat dia mulai tertarik akan rasa pahit yang dihasilkan oleh biji hitam itu, dia yang mencari kemana pun tempat kopi terenak di kota ini dan akhirnya inilah pelabuhan terakhirnya, tempat dia merasakan bahwa kopi itu benar-benar asli. Hampir 3 tahun kami telah menjadi pelanggan tetap kedai ini, walaupun yang kupesan tak pernah kopi. Aku menyukai Green tea nya dan dia selalu memesan kopi yang sama. Arabika aseli.
Aku sampai pada pintu utama kedai ini, pintu yang terbuat dari kayu biasa yang di cat juga persis warna batang kopi dengan gantungan biji kopi besar di tengahnya. Aku mendesah pelan sambil melangkahkan kaki ke dalamnya. Ramai. Efek dari hujan yang reda sore hari ini, ditambah ini hari sabtu, banyak pekerja yang libur dan menghabiskan waktu sekedar bercengkrama bersama kolega.
“Kak Reta…” pekik suara seorang wanita dari balik meja bar. Aku hafal suaranya, dia pelayan nomor satu ramahnya dikedai ini. Cepat dia menghampiriku.
“Ahhh..rindunya” dia memelukku. Aku hanya tertawa, seperti tak berjumpa bertahun-tahun rasanya.
“Kirain kakak gak kemari jadi tempat favoritnya udah ada yang duduki” dia menjelaskan tanpa ku minta.
Aku hanya mengangat bahu “Mau apa lagi, toh ini kan bukan kedai pribadi” kalimatku membuat perempuan berkulit putih bersih itu tertawa.
“Itu..disana aja, tempatnya asik juga, masih bisa kena serpihan sisa hujan” sarannya sambil menunjuk sebuah bangku yang terletak di pojok ruangan yang berseberangan dengan tempat Favoritku.
“Oke..Aku  juga menikmati tempat itu kok, second favorite” aku melangkah. “Oia, pesan seperti biasa ya”
“eeee…biasa?” seperti ragu dia bertanya.
“kok lupa?? Arabika dan Bubble Green Tea” berat rasanya mengatakannya tapi tetap kupasksakan senyum ini ada.
“kok..kok du…a?” tanyanya masih dengan ragu.
“dia nanti ke sini juga..terlambat” sahutku cuek dan meninggalkannya.
######

Biasanya aku tak pernah menunggu di sini, biasanya aku selalu yang ditunggu. Tapi untuk hari ini aku mengalah, setelah 3 tahun biasanya selalu aku yang terlambat dan sudah mendapatkan pesanan yang siap santap, apa salahnya sekarang aku yang menunggu, merasakan bagaimana dia menungguku seperti biasa. Ku lirik kanan kiri, tak ada satu pun pelanggan di sini yang ku kenal, yang bisa ku ajak bicara. Hanya beberapa karyawan yang tersenyum ketika melintas di depanku, mereka tidak bisa menjadi teman yang pas sore ini karena melihat sibuknya mereka bekerja.
Kuputuskan melanjutkan membaca novel yang hampir kutamatkan. Ku buka tasku dan ternyata novelnya tidak ada, pasti kutinggalkan dalam box sepeda motor tadi. Lengkaplah sudah, tak ada teman bicara dan tak ada novel untuk di baca. Terpaksa ku alihkan pandangan ini ke luasnya perkebunan kopi di luar sana sambil menunggu minuman yang telah ku pesan.
“Aku selalu salut dengan petani kopi di perkebunan ini, mereka selalu bekerja dengan hati, masih terus melestarikan cara tradisional sehingga kopinya terasa nikmat ketika menyentuh lidah kita” Dia menjelaskan saat aku tetap tak mau mencicipi kopi itu.
“Kalau cuma dihirup saja aromanya gak bakalan tau nikmat rasanya. Iya, kopi bewarna hitam dan pahit, tapi disetiap akhir pahitnya akan terasa manis yang tiada ketara, gak ada lawannya lah” lagi-lagi dia mendemontrasikan hasil pemikirannya. Aku sewot, merasa terganggu oleh suaranya ketika ku hirup aroma kopi yang ada di genggamanku.
“Kemarin aku langsung lihat ke belakang, tempat pengolahan kopi dari selesai panen sampai menjadi bubuk hitam, semuanya benar-benar alami, dikerjakan oleh pemilik kedai ini sendiri” ceramahnya benar-benar merusak kosentrasiku.
“Gak usah nipu deh” Akhirnya aku meletakkan cangkir kopi ini. Terusik mendengar ceritanya panjang lebar, tak kosentrasi ku hirup aroma  Robusta. “Kemarin kan kita sama-sama juga kemari, kapan sempatnya kamu sosk-sokan melihat pekerja kopi” cecarku.
“Lha…sempat pastinya, daripada aku duduk sendirian di sini nunggu kamu yang selalu telat datangnya” dia mengerlingkan mata, tanda sedang mengejekku.
“okeeh…lain kali gak usah ajak aku lagi kemari” aku mendengus kesal dikatakan tak on time, walaupun memang itu kenyataannya. Dia tertawa puas melihat ekspresiku saat itu.
#######

“Kak, ini pesanannya” Suara karyawan ini membuyarkan lamunanku
“Ohh..iya, makasih” Aku menjawab singkat dan dia berlalu. Ternyata aku masih sendiri di sini, menunggu dia yang belum juga hadir. Ku raih ponselku dan mengirimkan pesan singkat, bahwa aku sudah menunggu di sini.
Kulirik kanan kiri, lagi-lagi tak menemui orang yang ku kenal, atau aku salah hari sampai-sampai tak ada satu orang pun yang bisa ku ajak bercengkrama, atau banyak berubah selera orang selama aku tak kemari, mungkin orang-orang yang ku kenal juga memilih pergi.
Aku menatap minuman yang ku pesan, beda sekali antara keduanya. Minuman pertama, di dalam cangkir coklat bermotif kopi ukuran sedang, mengepul asap dari dalamnya, dan di pinggir tatakannya ada beberapa butir gula merah. Arabika Aseli  nama di daftar menunya.
Minuman kedua, tampak segar di pandang, di dalam gelas kecil yang memanjang, ada terselip daun mint di mulut gelasnya, tergugah selera melihatnya. Bubble green Tea, walaupun tidak cocok dengan udara sore ini yang baru reda disirami huajn tapi aku tetap menyukainya.
Kuraih cangkir coklat itu perlahan, mengenggamnya, langsung terasa aroma kopi yang sudah lama tak ku hirup. Aku menarik nafas, merasakan aroma itu masuk perlahan ke dalam tubuh dan terasa pekat pada indera penciuman ini, sehingga menuju ke otak mengulik sebuah memori.
“Jangan ganggu aku” kalimat pendeknya ketika akan meyeruput cangkirnya untuk pertama kali, Dia memejamkan mata, serasa menikmati pahitnya kopi hingga ke jantung hatinya. Aku hanya menatapnya, menikmati ekspresinya.
“gak ada lawan rasanya” lagi-lagi kalimat yang sama ketika dia selesai meyeruput tegukan yang pertama.
“kamu benar-benar meyukai kopi?” sepertinya ini pertanyaanku yang keseratusan kali untuknya.
“tiada duanya” dan jawabannya juga sama untuk keseratusan kalinya.
“suka mana kopi sama aku?” pertanyaan ini ku tanyakan tuk pertama kalinya, membuat dia sedikit terkejut. Aku juga sebenarnya terkejut, tak menyangka pertanyaan itu akan keluar. Ku mengutuk dalam hati.
“Wooowww….benar-benar cewek pemberani” Dia bangun dari kursinya dan mencondongkan badan agar lebih dekat melihatku. Aku jadi salah tingkah, celingukkan mengharapkan pertolongan.
“Apaan sih” aku mendorongnya membuat gelak tawanya tak tertahankan.
“Aku kan pencinta alam, mendaki gunung mana aja aku berani, apalagi cuma nanya yang begituan, Kan kalau pencinta alam itu juga harus berani, gak boleh gentar dan takut dalam menghadapi rintangan” Aku nyerocos tidak karuan, membuat dia semakin tertawa dan aku semakin malu pastinya.
Aku meraih cangkir kopinya, mengenggam dengan kedua tangan, menutup mata dan menghirup aromanya perlahan, tak peduli dia masih tertawa atau tidak, yang jelas aroma kopi ini benar-benar membuatku nyaman. Selang beberapa detik tak ku dengar lagi suaranya, aku mencoba membuka mata dan dia menatapku dengan seksama.
“aromanya aja bisa membuat nyaman, apalagi rasanya” Dia ceramah lagi. Aku segera menyodorkan cangkir itu kehadapanya.
“Nanti, kapan-kapan aku coba, kalau udah tiba saatnya” aku berdalih, memang tidak tertarik dengan rasa air hitam itu dan memilih menghabiskan segarnya green tea sambil setelahnya buru-buru berlalu meninggalkannya yang menyusulku dengan tawa yang tak disembunyikannya.
Bodohnya aku! Aku mengutuk diriku sendiri. Jika orang lain melihat jelas-jelas kami seperti sepasang kekasih yang sengat ideal. Aku mengenalnya di awal perkuliahan dan masuk komunitas yang sama. Pencinta alam. Bukannya aku tak punya pacar, dan dia juga ada gebetan di awal-awal semester kami di kampus. Tapi 2 tahun terahir ini entah bagaimana awalnya kami terasa semakin dekat dengan agenda komunitas pencita alam yang juga semakin padat membuat kami semakin sering berinteraksi dan menghabiskan waktu lebih banyak lagi berdua setelah pulang dari sekretariat.
Ini tahun terakhir kami di kampus, dia sedang sibuk dengan skripsinya dan aku bulan depan sudah bisa sidang akhir untuk mendapatkan gelar S,Pd, seorang guru yang suka petualangan. Namun sampai tahun terakhir ini tak pernah ada kata-kata apapun terlontar untuk menguatkan hubungan ini. Tidak ada status yang jelas, dan sekalipun tak pernah terucap suka apalagi sayang dan cinta di antara kami. Tapi kami sama-sama tau tidak ada orang lain yang mengisi hari-hari ini. Tidak pernah kuhabiskan hari liburku tanpa menemaninya menikmati kopi dan skripsi dan tidak pernah dia habiskan hari liburnya tanpa menemaniku mencari buku dan membuat puisi.
######

            Ponselku bergetar membuat aku membuka mata, sangat menikmati aroma kopi yang ku hirup. pesan dari Dia yang berisi akan datang sebentar lagi, tanggung katanya. Aku mendengus pelan, berarti semakin bosannya aku disini menanti. Ku putuskan mengangkat lagi cangkir kopi ini dan menghirup aromanya kembali, kali ini pedih rasanya, terasa pahitnya.
“aromanya wangi kan, itu berasal dari percampuran buah dan bunga, rasanya halus makanya membuat jiwa kita nyaman dan tenang, seperti candu akan aromanya” tidak pernah dilewatkannya menjelaskan baik sedikitpun tentang Arabika itu selama aku menikmati aromanya.
“Iya, tapi tetap aja pahit, aku rasa nyaman ini gak kamu dapatkan waktu menyeruputnya” aku berkilah dan mengembalikan cangkirnya. Dia menyeruput cepat.
“Nanti akan ku jelaskan lebih detailnya lagi” dia seperti berberes, beranjak pulang.
“Gak perlu, aku sudah hafal semua penjelasannya. Bahkan aku seperti selalu mendapat materi tentang kopi setiap kita di sini” Dia tertawa mendengarkanku.
“Hari ini kita pulang cepat ya, aku mau siap-siap tuk pergi besok” Dia beranjak tanpa meminta persetujuaanku.
“Hah??” Aku belum menghabiskan green tea nya. Cepat ku menyeruput sampai habis dan mengejarnya yang sedang membayar ke kasir.
“Mau kemana?” Aku berusaha mensejajari langkahnya yang tergesa. Sejak kemarin dia seperti tidak punya rencana apa-apa, kenapa sekarang malah buru-buru pergi. Kami sudah berjalan menuju parkiran.
“Besok mau tamasya sama teman-teman SMA” tamasya berarti mendaki gunung! Dan aku tidak tau akan hal itu.
“What??? Kok aku gak dikasih tau? Kenapa aku gak di ajak? Bukan sama komunitas kita? Tapi kan gak apa ikutan juga?” aku melontarkan banyak pertanyaan. Dia berhenti dan berbalik ke arahku.
“satu-satu dong Ta” dia menahan langkahku.
“Kamunya yang gak cerita” Aku tak mau disalahkan.
“Semuanya gak terencana, minggu kemarin pas reunian ada cerita-cerita pendakian, rupanya berlanjut membahasnya di whatsapp, akhirnya ne baru fix semua, jadi besok berangkatnya” Dia memutar-mutar ponselnya di depan wajahku, seperti memperlihatkan wacananya dengan teman-Teman SMAnya yang jelas-jelas aku tak bisa membacanya kalau seperti itu.
“Gak lama, cuma seminggu. Kami berencana nginap dibeberapa camp, baru sampe puncak, lagipula bulan depan kamu kan sidang. Perlu belajar extra lho Ta menghadapi pertanyaan dosen-dosen pengujinya” Jelasnya. Aku hanya diam, tak rela rasanya membiarkan dia duluan yang pergi ke puncak gunung yang selama ini sama-sama kami impikan.
“Nanti waktu kita pergi sama-sama, Aku udah paham medannya jadi kamu gampang tinggal ikuti instruksi aku daaaaaannn……kalau kamu rindu sama aku, hirup aja arabika di sini” Dia mulai ngeyel.
“Gak ngaruh tau” Aku berucap kesal dan melangkah pelan. Rencana kami dari dulu ingin menaklukkannya bersama malah tercoreng dengan dia yang berangkat lebih awal bersama teman-temannya. Eh, tapi dia benar juga, bulan depan aku akan sidang akhir, harus benar-benar belajar untuk menghadapinya dan satu rencana berkelibat di pikiranku dengan cepat. Setelah sidang aku akan pergi ke sana walau dengan komunitas manapun tanpa dia.
“Ngaruh lah Ta, kamu tau aroma kopi itu kan, mirip aroma buah dan bunga yang menyatu, membuat nyaman siapa pun yang menghirupnya, membuat candu. Terus ketika kita mencicipinya terasa halus dan kental di mulut, lama terasa, sampai bisa terbayang-banyang ketika tidur malamnya” Dia menjelaskan penjelasan itu untuk kesekian kalinya. Aku tak peduli, tetap melangkah menuju parkiran, sempat terlihat para petani kopi yang sedang memetik buahnya memperhatikan kami, mungkin aneh pikir mereka.
“Iya, memang hitam dan pahit..tapi setelah tegukannya habis, rasa nikmat dan nyaman tak terkira Ta”
“Aku tau” sahutku pendek dan terus melangkah.
“sama kayak perasaanku sama kamu Ta, nikmat dan tak terkira”
#####

Aku membuang nafas pelan, mencoba menghirup aroma kopi ini lagi, tapi kuputuskan meletakkannya dan membuka mata yang tanpa aku sadar sudah berapa lama Dia berada di kursi depanku, menatapku lembut.
“Eh…kok kamu udah datang? Udah lama? Kok aku gak ngerasa ya dilihatin begitu” aku nyerocos panjang namun kaku, sambil meletakkan cangkir kopi di meja.
“Lumayan lama, tapi aku bilang kan naggung, nanggung menyaksikan ekspresi kamu menikmati secangkir kopi itu dari sudut jendela sana” Dia menunjukkan jendela pojokkan tempat dia memantauku dari saat aku menghirup aroma kopi itu pertama kali.
“kamunya aja gak nyadar, serius banget sendirian” Aku menunduk, merasa bersalah mengabaikannya dan terlena dengan kenanganku sendiri.
“Gak apa-apa Ta, semua akan baik-baik saja. Pelan-pelan aja, sama kayak kamu menghirup aroma Arabika itu, nikmati sampai benar-benar menyatu dalam jiwa. Aku tetap di sini kok sampai kamu mendapatkan ritme nyamanya untuk merelakan” ucapnya lembut membuat suasana ini haru.
Ya..Dia bukan Dia! Bukan Dia yang ku kenal selama masa perkuliahan. Buakn Dia yang belum sangup ku sebutkan namanya.
 Dia yang dihadapanku saat ini adalah Teja, orang asing yang membantuku ketika aku pingsan di jalan sewaktu mendengar kabar bahwa dia menjadi salah satu korban yang tertimbun longsong dipendakian gunung impian kami. Teja adalah orang asing awalnya yang menguatkan aku bahwa semua akan baik-baik saja. Teja adalah orang asing yang rela menjadi pendengar terbaikku akan kisah dia yang tak ada habisnya kuceritakan. Teja adalah orang asing yang terus berusaha membuatku rela akan kepergian dia yang tanpa sempat ku balas kata terakhir sebelum kami berpisah di kedai kopi siang itu. Teja adalah orang asing yang akhirnya setelah setahun kepergian dia bisa ku ajak ke kedai kopi ini tuk mengenang sekaligus merelakan kepergian dia.
Kuputuskan mengenggam kembali cangkir Arabika aseli itu. Aku tak menghirupnya, tapi ku letakkan bibir cangkirnya ke bibirku, rasa pahitnya sudah terasa ketika ku teguk perlahan. Sangat terasa pahitnya, sepahit aku mengenang dia. Namun aku menikmatinya, sampai tegukan ini berakhir aku tetap menikmati pahitnya yang kemudian berubah menjadi halus di lidah dan nikmat tiada tara di seluruh jiwa. Ah..seperti inikah rasa Arabika Aseli. Nikmat! Senikmat aku yang bisa merelakan kenangan pahit.

“Makasih Ja” Aku tersenyum kepada dia yang dihadapanku saat ini. Tersenyum manis dan merasakan nikmat tatapannya.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

by. Ana Bahtera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar