Kamis, 29 Desember 2016

(RESENSI) Tentang Kamu, Tere Liye


Format:Soft 
CoverISBN:6020822346
ISBN13:9786020822341
Bahasa:Indonesia
Penerbit: Republika
Halaman:524
Dimensi:135 mm x 205 mm

Novel ini berawal dari Zaman Zulkarnaen, seorang junior associate di salah satu firma hukum Elder law yang memiliki prinsip-prinsip kokoh dan berdiri tegak diatas nilai-nilai luhur  di salah satu kawasan kota London.  Zaman harus menuntaskan sebuah amanat dari salah satu klien firma hukum mereka yang memiliki begitu banyak harta warisan. Namun  klien itu tidak meninggalkan jejak ahli waris nya sendiri yang ternyata berasal dari salah satu kota di negara kelahiran Zaman sendiri, Indonesia.
Dia adalah Sri Ningsih, seorang perempuan tua kurang lebih  70 tahun  yang selama 16 tahun terakhir telah tinggal di panti jompo yang letaknya hanya 900 meter jika berjalan kaki dari Menara Eiffel Paris. Ketika kematiannya terdengar dan sesuai prosedur warisan yang ditinggalkan akan diselesaikan oleh sebuah firma hukum jika tidak mau dikembalikan kepada badan hukum Negara atau penipu-penipu lain diluar sana maka Zaman harus dengan segera menemukan ahli warisnya atau setidaknya surat warisan.
Dibantu dengan diary Sri Ningsih yang dititipkan pada Aimee, seorang petugas yang tinggal dipanti jompo, Zaman mulai mendapat petunjuk akan kehidupan Sri yang hanya diwakilkan oleh 5 juz kehidupan yang ada pada 5 lembar diary yang  masing-masing lembarnya diselipkan poto Sri pada masanya-kecuali juz 5-. Perjalan diary itu dimulai pada tahun 1946.

Juz 1. Tentang kesabaran di kota kelahirannya  selama 14 tahun.
Tulisan juz 1 ini membawa Zaman ke salah satu pulau terpadat di dunia yang tidak tampak tanah, rumput apalagi pohon, Sumbawa, Pulau Bungin. Pada bagian ini Zaman mendapatkan informasi Sri Ningsih dari Pak Tuia, Ode- teman kecil Sri- bahwa selama 14 tahun  dan 5 tahunnya Sri benar-benar dilatih kesabaran dalam menghadapi ibu tirinya sepeninggalan Mamaknya ketika melahirkannya dan Bapaknya di ulang tahunnya yang ke 9. Dengan segala beban yang mungkin pada zaman itu tidak akan sanggup di tanggung oleh bocah 9 tahun, namun sungguh ajaib Sri tetap sabar dan selalu teguh memengang janji terakhitr yang di-iyakannya- kepada bapaknya “hormati dan patuhi ibumu. Lakukan apa yang dia suruh tanpa bertanya. Turuti apa yang dia perintahkan tanpa membantah. Jangan mudah menangis, jangan suka mengeluh. Kamu adalah anak seorang pelaut tangguh. Bersabarlah dalam setiap perkara” kalimat yang selalu Sri pegang sampai sebuah tragedi kebakaran yang merenggut nyawa ibu tirinya membuat Sri berputar haluan dan meninggalkan pulau Bungin dengan membawa Tilamuta tanpa pernah kembali sekali pun.

Juz 2. Tentang Persahabatan di kota kedua selama 5 tahun.
Tulisan juz 2 ini membawa Zaman ke sebuah madrasah yang dipimpin Kiai Ma’sum yang terletak di Surakarta. Dengan membawa Tilamuta- adik semata wayang- Sri diterima dengan baik di madrasah ini. Dia dberikan tempat tinggal dan bisa menuntut ilmu serta dikelililingi sahabat yang sangat sayang padanya, Nur’aini dan Mbak lastri. Namun setelah 4 tahun tinggal disana dan 1 tahun terakhir Sri sudah menjadi guru bahasa setelah tamat sekolah, berita buruk lagi-lagi menyelimuti kehidupan Sri yang diawali dengan penghianatan salah satu sahabat terbaiknya, Mbak Lastri. Penghianatan itu berujung pada penyerangan madrasah sehingga membuat pertumpahan darah yang  banyak menelan korban baik dari santri di madrasah dan seluruh keluarga kiai Ma’sum, yang tersisa hanya Nur’aini dan suaminya, Arifin. Setahun dari kejadian menyedihkan itu Sri bertolak ke Jakarta untuk hidup yang  baru.

Juz 3 Tentang Keteguhan Hati di Ibukota Jakarta selama 12 tahun.
Tulisan juz 3 ini membawa Zaman ke Jakarta yang padat dan macet, penuh dengan bangunan-bangunan yang menjulang, tidak seperti surat-surat yang dituliskan Sri pada Nuraini sahabatnya selama kehidupannya di Jakarta, dimana Sri jatuh bangun memulai usahanya di kota ini, kegagalan demi kegagalan sudah dilewatinya hingga keberhasilannya lagi-lagi direnggut kebakaran besar dan akhirnya menuntun dia membuka sebuah bisnis besar. Sampai surat ke 20 akhirnya Zaman bisa menemukan bisnis Sri yang benar-benar sudah berkembang dengan pimpinan seorang perempuan berusia 60 tashun yang sejak ia usia 15 tahun sudah bersama dengan Sri di Jakarta. Sampai juz ini Zaman sudah mulai sedikit mendapat titik terang permasalahan yang dihadapinya.

Juz 4 Tentang Cinta di London selama 19 tahun.
Tulisan juz 4 ini merupakan bagian terindah dan terpedih bagi Sri, bagaimana akhirnya dia menemukan pasangan hidup di kota ini, kebahagiannya lagi-lagi tak bisa dirasakannya karena tak berselang lama Sri harus merasakan kehilangan yang sangat dalam sehingga merubah kepribadiannya yang ceria menjadi bermuram durja. Disinilah peran cinta itu, pria yang mencintai Sri itu dengan tulus selalu memiliki cara mengembalikan keceriaan Sri sampai pria itu menutup mata dan Sri memutuskan meninggalkan keluarganya di London secara diam-diam.

Juz 5 Tentang Memeluk semua rasa takut selama 16 tahun.
Tulisan juz 5 ini tentang kehidupan baru Sri dengan orang-orang baru yang membuatnya kembali bersahaja dan bermanfaat bagi sekitarnya. Kehidupan yang membawanya berkeliling negara dan melintasi 5 benua sampai akhirnya Sri dengan tenang menutup mata di panti jompo yang telah menerimanya dengan segala keramahan dan  kekeluargaan.

Satu hal yang sama dari 3 juz kehidupan Sri adalah kepergiannya yang secara mendadak tanpa sempat meninggalkan pesan ataupun alasan yang jelas akan kepergiannya. Zaman akhirnya mendapatkan penyebab itu, penyebab yang membuat Sri menghilang dengan tiba-tiba ternyata karena dia menghindar dari sosok masa lalunya yang muncul bagaikan sosok yang menakutkan. Sampai akhirnya Zaman bisa menuntaskan segala amanat yang ditinggalkan oleh Sri Ningsih.
Membaca novel Tere Liye dengan tebal 524 halaman tidak akan terasa karena kita benar-benar dibuat hanyut oleh drama yang diciptakan penulisnya. Selalu mendapat kejutan-kejutan kecil yang diselipkan disetiap babnya. Memang terasa sekali drama yang dituliskan namun tidak membuat kita bosan bahkan kita akan hanyut menjadi salah satu tokoh di dalam ceritanya.

Apa yang membuat kita menyukai novel ini? Karena di dalamnya berisi:
  1. Tentang kehidupan yang benar-benar dikemas dengan segala kebaikan di dalamnya, tentang nasehat yang diselipkan dari percakapan-percakapan ringan, tentang bagaimana bahwa efek dari berbuat kebaikan sangat membantu dimasa depan walaupun kebaikan sekecil debu dan bahkan kita tak menyadarinya bahwa telah melakukan kebaikan itu.
  2. Tentang hal-hal kecil di awal yang sebenarnya memiliki peran besar di dalam cerita selanjutnya, penyelipan yang sangat apik di lembar awal sampai kita seperti melupakan tokoh cerita tersebut hingga pada akhir cerita ternyata ia juga sangat berperan dalam kehidupan tokoh utama.
  3. Tentang pekerjaan-pekerjaan yang sederhana namun sangat besar andilnya bagi masyarakat sekitar, tidak harus melibatkan pengusaha-pengusaha kaya namun tetap dapat inti atas pemahaman dari pekerjaan itu sendiri.
  4. Tentang tempat-tempat baru yang semula tak pernah ada dibayangan kita dan selalu menyelipkan informasi baru tentang sejarah masa lalu yang memang tidak pernah kita baca bahkan dipelajaran sejarah ketika dibangku sekolah sekalipun.
  5. Tentang cinta yang dikemas secara sederhana namun romantis tak terkira, pertemuan dua insan yang berawal dari hal sepele namun memberi pelajaran berarti bagi pembacanya.


Apa yang membuat novel ini sedikit tak menyenangkan?
  1. Pada bagian akhir cerita, saya rasa terlalu sangat mendrama. Disaat Zaman menyelamatkan Tilamuta terlalu banyak dialog yang dibuat, padahal saat itu yang paling dibutuhkan adalah ketangkasan dan kecepatan untuk menyelamatkan diri (hal. 508-513)


Kata-kata yang sangat menarik di novel ini:
  1. “Aku ingin sekali punya hati seperti miliknya. Tidak pernah membenci walau sedebu. Tidak pernah berprasangka buruk walau setetes. Dia adalah sahabat terbaikku” (hal.206)
  2. “Chaty, jadilah seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Jadilsah seperti air yang mengalir sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru. Aku titip Pabrik ini. Rawat dia seperti merawat anakmu sendiri” (hal.278)
  3. “Aku berjanji, Sri. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi padaku. Agar kita bisa kembali melanjutkan hidup seperti dulu. Agar aku bisa menyaksikan sri yang selalu riang. Sri yang selalu menatap sederhana kehidupan ini.” (hal.385)
  4. “Aku bahkan bersedia memilih mati bersama dengan empat orang jahat itu dmei menegakkan keadilan” (hal.512)
  5. “…..itu akan jadi momen menyenangkan bagiku karena aku belum pernah menemukan gadis dengan hati secantik milikmu” (hal.519)

Penilaian novel ini 4,5/5
Novel yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Happy reading guys!!

Rabu, 21 Desember 2016

(Wishful Wednesday) Blue Valley Series



      Ya Allah..apa hanya aku yang merasa waktu ini begitu cepat berlalu, serasa masih November, eh tapi malah udah akhir Desember aja..huhu
November kemarin  memang sangat disibukkan dengan beberapa kerjaan yang alhamdulillah sangat menambah wawasan & pengalaman, tapi terasa juga tidak menikmati jalannya waktu seperti biasanya, tau-tau udh sampe Desember aja dan banyak ketinggalan info terbaru dari medsos dalam rangka giveaway khususnya *curcol

      Pastinya juga ketinggalam Wishful Wednesday selama 5 x putaran. jadi, berhubung 5 wishful yang ketinggalan jadi untuk minggu ini akan aku borong semua novel-novel yang sangat aku inginkan bisa menemani di libur akhir tahun ini..

       And my wisful wednesday is......
       Jreeng....Jreeng.....Jreeng....




   Ini novel yang pas untuk impian Rabu ini, sepaket lengkap 5 novel..kenapa suka?? jelas dari penulisnya yang kece-kece pasti menghasilkan novel yang sangat bagus dan menarik.
Ahhh..berharap ada yang mau nyumbangin untuk aku *fakirnovel :D

Rabu, 14 Desember 2016

Wanita Pigura itu.


Kunikmati rinai hujan senja ini. air yang turun dari langit luas dan bercumbu dengan alam sehingga menyerap hingga perut bumi yang terdalam. Begitu indah. Aku sangat menyukai hujan. Kenapa? Karena aku selalu berharap dengan adanya aer hujan yang mengalir, rasa sedihku ini juga ikut mengalir, bahkan menghilang dari seluruh urat nadi ini. Ketika hujan datang, luka ini memang ikut menghilang tapi ketika tetesan hujan ini berakhir, luka ini kembali hadir. Apa tidak boleh bersedih?

“nduk, nti kamu masuk angin” suara berat yang begitu ku kenal menegurku, yang sebenarnya pemilik suara itu tau aku tak memerlukan ucapannya dan aku pasti akan terus duduk diteras ini. 
Seperti biasa, pemilik suara itu mendekat dan memegang pundakku seperti hujan-hujan sebelumnya dan akan mengeluarkan kata-kata “tak ada yang perlu disesali, semua itu sudah ketentuan Allah” aku tetap diam, dan seperti biasa pemiik suara itu meletakkan segelas teh hangat disampingku dan berlalu. Kebiasaan selama setahun kebelakang ini di saat hujan. Aku tetap diam. Tak meliriknya sedikit pun. Aku tak membenci dia, tidak pernah sedetikpun membenci pemilik suara itu. Tapi aku membenci wanita yang bersamanya, yang sebulan lalu dibawanya ke rumah ini, kerumah yang semestinya tak ada tempat untuk wanita lain. Aku cemburu? Tidak! Egoku berontak. Aku tak perlu cemburu dengan wanita itu.

Rinai hujan itu berhenti, kuputuskan untuk masuk ke kamar, tetap kubawa segelas teh hangat itu, melewati ruang tamu ku lihat wanita itu sedang bercanda riangnya dengan adikku, Ya! Wanita mana yang tidak bisa mengambil hati anak seusia 5 tahun? Hanya dengan memberikan permen dan mendongeng akan membuat dia tunduk pada wanita itu. Tapi aku bukan anak seusianya. Aku sudah umur belasan dan aku tau kalau cintanya tak sepenuhnya tercurahkan kepada kami. Hanya untuk pemilik suara itu.
“hujannya sudah reda ya nduk?” tanya wanita itu. Basa basi! Dan aku tau itu. Aku hanya mengangguk. Dan aku berlalu, meninggalkan wanita itu yang tetap menatap punggungku sambil berlalu.

Sesampai di kamar kupandangi lagi wajah teduh seorang wanita luar biasa di figura tua ini,memakai baju warna hijau kesukaannya dan kerudung yang senada, poto yang di ambil ketika aku belum genap berusia sepuluh tahun, dengan tatapan mata dan senyuman yang membuat hati ini nyaman, semakin membuatku merindukannya. 
Banyak yang ingin kuceritakan kepadanya. Tentang bimbang hati ini, tentang Ayu teman sekolahku yang ngeselin, tentang rasa yang ku tak tau apa yang selalu muncul ketika kubersama Dian, teman pria di kelasku. Huh! Memikirkannya saja membuat pipi ini panas. Begitu banyak, serta tentang wanita yang datang ke rumah ini secara tiba-tiba seperti ingin menggantikan sosoknya. Sangat banyak. 
Tapi kenapa waktu begitu cepat menjauhkan aku dari wanita di figura ini? “karena Allah lebih sayang padanya” Kata pemilik suara berat itu padaku ketika kami mengantar wanita ini ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku hanya bisa menangis ketika semua orang menyalamiku tapi aku tak mengenal mereka mereka, saat itu Aku hanya menatap gundukan tanah segar itu, dan berharap akan segera bangun dari mimpi buruk itu. Tapi tidak! Hari itu  nyata. Sampai kami pulang kerumah tanpa wanita figura ini dan itu yang membuatku semakin tersadar kalu ternyata kami telah berada di alam yang berbeda. Air mata ini jatuh lagi, tak bisa ku tak menangis bila melihat wanita dalam figura ini, walaupun kejadian itu sudah lebih empat bulan dari tiga enam puluh enam hari.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Ku berjinjit mengendap-endap memasuki kamar pemilik suara berat itu, yang dulunya juga kamar wanita figura ini tapi sekarang telah ditempati oleh wanita baru ini. Lama ku tak masuk ke dalam kamar ini, tak sanggup melihat semuanya akan berubah.
Aku tesigap ketika membuka pintunya, tidak ada yang berubah, masih terdapat bingkai poto kami bersama yang berukuran besar di dinding kamar itu, masih tetap ada bunga kesayangan wanita figura itu di sudut ruangan dan benar-benar tak ada yang berubah, bahkan aroma kamar ini juga masih tetap sama, yang semakin membuatku tercengang dengan tak ada satu pun photo wanita baru itu di dalam kamar ini, bahkan poto ketika mereka mengikat janji setia.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat ke kamar ini, refleks aku bersembunyi agar tak melihat, kupaksa badanku ini merayap di bawah tempat tidur di kamar ini, aku tak ingin terlihat sedang mnegendap-endap dikamar ini. jantung ini seperti ingin berloncatan ke luar demi melihat pria bersuara berat dan wanita itu measuk ke kamar ini.
“Ra, maafkan mas ya” suara berat itu mulai membuka suara, jarak mereka sekitar tiga meter dari tempat persembunyianku dan aku bisa mendengar dan melihat semuanya dengan jelas.
“gak ada yang salah mas, gak ada yang harus dimaafkan, semua ini ketentuan allah, seperti yang pernah mas katakan pada saya” wanita itu dengan berat mengucapkan, terdengar seperti ia menahan tangis.
“tapi itu yang membuat kamu tidak nyaman seperti ini kan? Membuat karir kamu terhambat dan Dia, orang yang kita jumpa barusan sebenarnya pilihan hati kamu”
“tidak mas..tidak..” suara wanita itu tercekat
“Ra, saya tau, dengan melihat tatapan mata kalian berdua saja, saya paham masih ada rasa yang tertinggal” Aku terus menyimak arah pembicaraan mereka yang semakin tak kumengerti maksudnya.
“itu gak sebanding mas, dengan apa yang kudapatkan dari mas dan mbak”
“ini bukan untuk balas budi Ra”
“bukan mas, aku bukan membalas budi kalian karena ku tau aku tak sanggup membalasnya, aku hanya ingin melakukan apa yang aku bisa untuk membahagiakan mas dan mbak dan aku rasa ini yang harus kulakukan. Karena aku tau kebahagiaan kalian ada jika melihat dua anak itu bahagia” begitu tegas suara wanita itu terdengar walaupun semakin serak.
 “udah tiga ratus hari Ra, saya tidak tau berapa lagi sisa waktunya dan apa ini cukup untuk meyakinkan sasa kalau kamu bisa menggantikan sosok ibunya?”
Aku mulai menahan nafas, kenapa ada nama ku? Kenapa dengan beberapa sisa hari ke depan, apa ini seperti taruhan? Apa ini pegadaian? Aku benar-benar belum paham apa yang sedang dipikirkan kedua insan tersebut.
“mas, mbak ina gak bakal bisa tergantikan di hati sasa tapi saya hanya berharap, dia bisa meletakkan saya disudut hatinya yang tersisa” Dia mulai terisak, Aku merasakan ketulusun di setiap kata-kata wanitu itu, tanpa sadar airmata ini ikut keluar juga.
 “dan kita tidak tau rencana allah mas, seratus hari kata dokter mungkin bisa menjadi ratusan tahun jika Allah menghendaki”
Aku mulai memahami pembicaraan ini. Ya Allah! Ini tentang penyakit pemilik suara itu, aku tau dulu Ayah dari dulu sakit tapi tak separah yang kubayangkan. Aku menahan tangisku agar tidak terdengar oleh mereka, selama ini aku benar-benar salah menilai sosok wanita ini. Ya Allah, beri aku waktu untuk meminta maaf kepada keduanya.
-----------------------------------------------------------
Kupandangi gundukan tanah yang segar itu. Ayah juga telah pergi, tak sampai seratus hari sisanya seperti yang dikatakan oleh dokter, Allah mengambil ayah lebih cepat, tanpa ada tanda-tanda yang ditinggalkan, Ayah menghembuskan nafas terakhir dengan tenang seusai shalat subuh tadi pagi. Ayah menyusul Mamak di sana, mungkin mereka diciptakan untu bersama di dunia dan alam selanjutnya. Wanita ini memelukku erat. Aku merasakan kehangatan yang di alirkannya. Wanita ini memeluk kami berdua dengan tegar, walalupun aku tau dia juga tak sekuat kelihatannya, ada sisi rapuh yang disembunyikannya. Makasih ya Allah kau menggerakkkan hatinya tuk mau bersama aku dan adikku.
Dia menuntun kami berdua untuk pulang, kulihat ada beberapa saudara yang berada dibelakang kami, aku tetap diam tak mengatakan apapun. Sebelum sampai ke rumah, gerimis itu turun, melukiskan isi hatiku yang sedang berduka. Kutatap wajah wanita ini dengan seksama, ada kepedihan yang mendalam tampak di wajahnya.
“Ibu” panggilku lirih. Dia tersentak kaget, pasti heran dengan ucapanku. Tapi kuputuskan untuk mengatakannya saat ini, tepat atau tidak tepat.
“kamu mengucapkan apa sa?” katanya hampir tak terdengar, aku tau dia tak percaya denagn ucapanku.
“Ibu” aku menegaskan lagi kata-kata itu, kata yang memang harus ku sematkan padanya.
“bisa Ibu mencarikan sosok Ayah tuk mengisi sudut hatiku yang masih tersisa?” Akhirnya aku mengatakannya, hal pertama yang terlintas di pikiranku ketika melihat gundukan makam ayak tadi.
Dia terkejut dengan airmata yang semakin deras di pipinya, tapi aku tau itu airmata bahagia. Hujan itu kembali datang dan ku tau hujan ini membawa sedihku yang akan digantikan oleh bahagia ketika rinai itu pergi, seperti pelangi yang datang setelah hujan hilang..

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie