Jaraknya hampir
20 meter dari tempat parkir ini, ku parkirkan sepeda motorku diantara kendaraan
lainnya. Aroma tanah yang baru saja dicumbu hujan menguap singgah di indera
penciumannku, masih tampak sisa-sisa tetes hujan diujung dedaunan yang tengah
rimbun akan buah-buah kecil hijau yang masih tampak setengah matang, belum bisa
dipetik. Sengaja ku pelankan langkah ini demi menikmati setiap memoriku di
salah satu café ternama ini. ‘Seladang kupi’ Sebuah kedai bagi pencinta kopi
yang sengaja dibuat di tengah kebun kopinya langsung, penikmat kopi harus
berjalan dari parkiran melewati kebun kopi yang sensasinya semakin menjanjikan
aroma dan rasa bagi penikmat kopi sejati.
Aku bukan
penikmat kopi, benar-benar tak habis pikir
akan mereka yang menyukai air hitam yang pahit rasanya, tak ada merasakan
kesegaran dalam setiap tegukannya. Namun aku menyukai aromanya sejak 5 tahun
lalu, saat dia mulai tertarik akan rasa pahit yang dihasilkan oleh biji
hitam itu, dia yang mencari kemana pun tempat kopi terenak di kota ini
dan akhirnya inilah pelabuhan terakhirnya, tempat dia merasakan bahwa
kopi itu benar-benar asli. Hampir 3 tahun kami telah menjadi pelanggan tetap
kedai ini, walaupun yang kupesan tak pernah kopi. Aku menyukai Green tea nya
dan dia selalu memesan kopi yang sama. Arabika aseli.
Aku sampai pada
pintu utama kedai ini, pintu yang terbuat dari kayu biasa yang di cat juga
persis warna batang kopi dengan gantungan biji kopi besar di tengahnya. Aku
mendesah pelan sambil melangkahkan kaki ke dalamnya. Ramai. Efek dari hujan
yang reda sore hari ini, ditambah ini hari sabtu, banyak pekerja yang libur dan
menghabiskan waktu sekedar bercengkrama bersama kolega.
“Kak Reta…”
pekik suara seorang wanita dari balik meja bar. Aku hafal suaranya, dia pelayan
nomor satu ramahnya dikedai ini. Cepat dia menghampiriku.
“Ahhh..rindunya”
dia memelukku. Aku hanya tertawa, seperti tak berjumpa bertahun-tahun rasanya.
“Kirain kakak
gak kemari jadi tempat favoritnya udah ada yang duduki” dia menjelaskan tanpa
ku minta.
Aku hanya
mengangat bahu “Mau apa lagi, toh ini kan bukan kedai pribadi” kalimatku
membuat perempuan berkulit putih bersih itu tertawa.
“Itu..disana
aja, tempatnya asik juga, masih bisa kena serpihan sisa hujan” sarannya sambil
menunjuk sebuah bangku yang terletak di pojok ruangan yang berseberangan dengan
tempat Favoritku.
“Oke..Aku juga menikmati tempat itu kok, second favorite”
aku melangkah. “Oia, pesan seperti biasa ya”
“eeee…biasa?”
seperti ragu dia bertanya.
“kok lupa?? Arabika
dan Bubble Green Tea” berat rasanya mengatakannya tapi tetap kupasksakan senyum
ini ada.
“kok..kok
du…a?” tanyanya masih dengan ragu.
“dia nanti ke
sini juga..terlambat” sahutku cuek dan meninggalkannya.
######
Biasanya aku
tak pernah menunggu di sini, biasanya aku selalu yang ditunggu. Tapi untuk hari
ini aku mengalah, setelah 3 tahun biasanya selalu aku yang terlambat dan sudah
mendapatkan pesanan yang siap santap, apa salahnya sekarang aku yang menunggu,
merasakan bagaimana dia menungguku seperti biasa. Ku lirik kanan kiri,
tak ada satu pun pelanggan di sini yang ku kenal, yang bisa ku ajak bicara.
Hanya beberapa karyawan yang tersenyum ketika melintas di depanku, mereka tidak
bisa menjadi teman yang pas sore ini karena melihat sibuknya mereka bekerja.
Kuputuskan
melanjutkan membaca novel yang hampir kutamatkan. Ku buka tasku dan ternyata
novelnya tidak ada, pasti kutinggalkan dalam box sepeda motor tadi. Lengkaplah
sudah, tak ada teman bicara dan tak ada novel untuk di baca. Terpaksa ku
alihkan pandangan ini ke luasnya perkebunan kopi di luar sana sambil menunggu
minuman yang telah ku pesan.
“Aku selalu
salut dengan petani kopi di perkebunan ini, mereka selalu bekerja dengan hati,
masih terus melestarikan cara tradisional sehingga kopinya terasa nikmat ketika
menyentuh lidah kita” Dia menjelaskan saat aku tetap tak mau mencicipi
kopi itu.
“Kalau cuma
dihirup saja aromanya gak bakalan tau nikmat rasanya. Iya, kopi bewarna hitam
dan pahit, tapi disetiap akhir pahitnya akan terasa manis yang tiada ketara,
gak ada lawannya lah” lagi-lagi dia mendemontrasikan hasil pemikirannya.
Aku sewot, merasa terganggu oleh suaranya ketika ku hirup aroma kopi yang ada
di genggamanku.
“Kemarin aku
langsung lihat ke belakang, tempat pengolahan kopi dari selesai panen sampai
menjadi bubuk hitam, semuanya benar-benar alami, dikerjakan oleh pemilik kedai
ini sendiri” ceramahnya benar-benar merusak kosentrasiku.
“Gak usah nipu
deh” Akhirnya aku meletakkan cangkir kopi ini. Terusik mendengar ceritanya
panjang lebar, tak kosentrasi ku hirup aroma
Robusta. “Kemarin kan kita sama-sama juga kemari, kapan sempatnya kamu
sosk-sokan melihat pekerja kopi” cecarku.
“Lha…sempat
pastinya, daripada aku duduk sendirian di sini nunggu kamu yang selalu telat
datangnya” dia mengerlingkan mata, tanda sedang mengejekku.
“okeeh…lain
kali gak usah ajak aku lagi kemari” aku mendengus kesal dikatakan tak on
time, walaupun memang itu kenyataannya. Dia tertawa puas melihat
ekspresiku saat itu.
#######
“Kak, ini
pesanannya” Suara karyawan ini membuyarkan lamunanku
“Ohh..iya,
makasih” Aku menjawab singkat dan dia berlalu. Ternyata aku masih sendiri di
sini, menunggu dia yang belum juga hadir. Ku raih ponselku dan mengirimkan
pesan singkat, bahwa aku sudah menunggu di sini.
Kulirik kanan
kiri, lagi-lagi tak menemui orang yang ku kenal, atau aku salah hari
sampai-sampai tak ada satu orang pun yang bisa ku ajak bercengkrama, atau banyak
berubah selera orang selama aku tak kemari, mungkin orang-orang yang ku kenal
juga memilih pergi.
Aku menatap
minuman yang ku pesan, beda sekali antara keduanya. Minuman pertama, di dalam
cangkir coklat bermotif kopi ukuran sedang, mengepul asap dari dalamnya, dan di
pinggir tatakannya ada beberapa butir gula merah. Arabika Aseli nama di daftar menunya.
Minuman kedua,
tampak segar di pandang, di dalam gelas kecil yang memanjang, ada terselip daun
mint di mulut gelasnya, tergugah selera melihatnya. Bubble green Tea, walaupun
tidak cocok dengan udara sore ini yang baru reda disirami huajn tapi aku tetap
menyukainya.
Kuraih cangkir
coklat itu perlahan, mengenggamnya, langsung terasa aroma kopi yang sudah lama
tak ku hirup. Aku menarik nafas, merasakan aroma itu masuk perlahan ke dalam
tubuh dan terasa pekat pada indera penciuman ini, sehingga menuju ke otak
mengulik sebuah memori.
“Jangan ganggu
aku” kalimat pendeknya ketika akan meyeruput cangkirnya untuk pertama
kali, Dia memejamkan mata, serasa menikmati pahitnya kopi hingga ke
jantung hatinya. Aku hanya menatapnya, menikmati ekspresinya.
“gak ada lawan
rasanya” lagi-lagi kalimat yang sama ketika dia selesai meyeruput
tegukan yang pertama.
“kamu
benar-benar meyukai kopi?” sepertinya ini pertanyaanku yang keseratusan kali
untuknya.
“tiada duanya”
dan jawabannya juga sama untuk keseratusan kalinya.
“suka mana kopi
sama aku?” pertanyaan ini ku tanyakan tuk pertama kalinya, membuat dia
sedikit terkejut. Aku juga sebenarnya terkejut, tak menyangka pertanyaan itu
akan keluar. Ku mengutuk dalam hati.
“Wooowww….benar-benar
cewek pemberani” Dia bangun dari kursinya dan mencondongkan badan agar
lebih dekat melihatku. Aku jadi salah tingkah, celingukkan mengharapkan
pertolongan.
“Apaan sih” aku
mendorongnya membuat gelak tawanya tak tertahankan.
“Aku kan
pencinta alam, mendaki gunung mana aja aku berani, apalagi cuma nanya yang
begituan, Kan kalau pencinta alam itu juga harus berani, gak boleh gentar dan
takut dalam menghadapi rintangan” Aku nyerocos tidak karuan, membuat dia
semakin tertawa dan aku semakin malu pastinya.
Aku meraih
cangkir kopinya, mengenggam dengan kedua tangan, menutup mata dan menghirup
aromanya perlahan, tak peduli dia masih tertawa atau tidak, yang jelas
aroma kopi ini benar-benar membuatku nyaman. Selang beberapa detik tak ku
dengar lagi suaranya, aku mencoba membuka mata dan dia menatapku dengan
seksama.
“aromanya aja
bisa membuat nyaman, apalagi rasanya” Dia ceramah lagi. Aku segera menyodorkan
cangkir itu kehadapanya.
“Nanti,
kapan-kapan aku coba, kalau udah tiba saatnya” aku berdalih, memang tidak
tertarik dengan rasa air hitam itu dan memilih menghabiskan segarnya green tea
sambil setelahnya buru-buru berlalu meninggalkannya yang menyusulku dengan tawa
yang tak disembunyikannya.
Bodohnya aku!
Aku mengutuk diriku sendiri. Jika orang lain melihat jelas-jelas kami seperti
sepasang kekasih yang sengat ideal. Aku mengenalnya di awal perkuliahan dan
masuk komunitas yang sama. Pencinta alam. Bukannya aku tak punya pacar, dan dia
juga ada gebetan di awal-awal semester kami di kampus. Tapi 2 tahun terahir ini
entah bagaimana awalnya kami terasa semakin dekat dengan agenda komunitas
pencita alam yang juga semakin padat membuat kami semakin sering berinteraksi
dan menghabiskan waktu lebih banyak lagi berdua setelah pulang dari
sekretariat.
Ini tahun
terakhir kami di kampus, dia sedang sibuk dengan skripsinya dan aku bulan depan
sudah bisa sidang akhir untuk mendapatkan gelar S,Pd, seorang guru yang suka
petualangan. Namun sampai tahun terakhir ini tak pernah ada kata-kata apapun
terlontar untuk menguatkan hubungan ini. Tidak ada status yang jelas, dan
sekalipun tak pernah terucap suka apalagi sayang dan cinta di antara kami. Tapi
kami sama-sama tau tidak ada orang lain yang mengisi hari-hari ini. Tidak
pernah kuhabiskan hari liburku tanpa menemaninya menikmati kopi dan skripsi dan
tidak pernah dia habiskan hari liburnya tanpa menemaniku mencari buku dan
membuat puisi.
######
Ponselku bergetar membuat aku
membuka mata, sangat menikmati aroma kopi yang ku hirup. pesan dari Dia yang
berisi akan datang sebentar lagi, tanggung katanya. Aku mendengus pelan,
berarti semakin bosannya aku disini menanti. Ku putuskan mengangkat lagi
cangkir kopi ini dan menghirup aromanya kembali, kali ini pedih rasanya, terasa
pahitnya.
“aromanya wangi
kan, itu berasal dari percampuran buah dan bunga, rasanya halus makanya membuat
jiwa kita nyaman dan tenang, seperti candu akan aromanya” tidak pernah
dilewatkannya menjelaskan baik sedikitpun tentang Arabika itu selama aku
menikmati aromanya.
“Iya, tapi
tetap aja pahit, aku rasa nyaman ini gak kamu dapatkan waktu menyeruputnya” aku
berkilah dan mengembalikan cangkirnya. Dia menyeruput cepat.
“Nanti akan ku
jelaskan lebih detailnya lagi” dia seperti berberes, beranjak pulang.
“Gak perlu, aku
sudah hafal semua penjelasannya. Bahkan aku seperti selalu mendapat materi
tentang kopi setiap kita di sini” Dia tertawa mendengarkanku.
“Hari ini kita
pulang cepat ya, aku mau siap-siap tuk pergi besok” Dia beranjak tanpa
meminta persetujuaanku.
“Hah??” Aku
belum menghabiskan green tea nya. Cepat ku menyeruput sampai habis dan
mengejarnya yang sedang membayar ke kasir.
“Mau kemana?”
Aku berusaha mensejajari langkahnya yang tergesa. Sejak kemarin dia
seperti tidak punya rencana apa-apa, kenapa sekarang malah buru-buru pergi.
Kami sudah berjalan menuju parkiran.
“Besok mau tamasya
sama teman-teman SMA” tamasya berarti mendaki gunung! Dan aku tidak tau
akan hal itu.
“What??? Kok
aku gak dikasih tau? Kenapa aku gak di ajak? Bukan sama komunitas kita? Tapi
kan gak apa ikutan juga?” aku melontarkan banyak pertanyaan. Dia
berhenti dan berbalik ke arahku.
“satu-satu dong
Ta” dia menahan langkahku.
“Kamunya yang
gak cerita” Aku tak mau disalahkan.
“Semuanya gak
terencana, minggu kemarin pas reunian ada cerita-cerita pendakian, rupanya
berlanjut membahasnya di whatsapp, akhirnya ne baru fix semua, jadi besok
berangkatnya” Dia memutar-mutar ponselnya di depan wajahku, seperti
memperlihatkan wacananya dengan teman-Teman SMAnya yang jelas-jelas aku tak
bisa membacanya kalau seperti itu.
“Gak lama, cuma
seminggu. Kami berencana nginap dibeberapa camp, baru sampe puncak, lagipula
bulan depan kamu kan sidang. Perlu belajar extra lho Ta menghadapi pertanyaan
dosen-dosen pengujinya” Jelasnya. Aku hanya diam, tak rela rasanya membiarkan dia
duluan yang pergi ke puncak gunung yang selama ini sama-sama kami impikan.
“Nanti waktu
kita pergi sama-sama, Aku udah paham medannya jadi kamu gampang tinggal ikuti
instruksi aku daaaaaannn……kalau kamu rindu sama aku, hirup aja arabika di sini”
Dia mulai ngeyel.
“Gak ngaruh
tau” Aku berucap kesal dan melangkah pelan. Rencana kami dari dulu ingin
menaklukkannya bersama malah tercoreng dengan dia yang berangkat lebih
awal bersama teman-temannya. Eh, tapi dia benar juga, bulan depan aku
akan sidang akhir, harus benar-benar belajar untuk menghadapinya dan satu
rencana berkelibat di pikiranku dengan cepat. Setelah sidang aku akan pergi ke
sana walau dengan komunitas manapun tanpa dia.
“Ngaruh lah Ta,
kamu tau aroma kopi itu kan, mirip aroma buah dan bunga yang menyatu, membuat
nyaman siapa pun yang menghirupnya, membuat candu. Terus ketika kita
mencicipinya terasa halus dan kental di mulut, lama terasa, sampai bisa
terbayang-banyang ketika tidur malamnya” Dia menjelaskan penjelasan itu
untuk kesekian kalinya. Aku tak peduli, tetap melangkah menuju parkiran, sempat
terlihat para petani kopi yang sedang memetik buahnya memperhatikan kami,
mungkin aneh pikir mereka.
“Iya, memang hitam
dan pahit..tapi setelah tegukannya habis, rasa nikmat dan nyaman tak terkira
Ta”
“Aku tau”
sahutku pendek dan terus melangkah.
“sama kayak
perasaanku sama kamu Ta, nikmat dan tak terkira”
#####
Aku membuang
nafas pelan, mencoba menghirup aroma kopi ini lagi, tapi kuputuskan
meletakkannya dan membuka mata yang tanpa aku sadar sudah berapa lama Dia
berada di kursi depanku, menatapku lembut.
“Eh…kok kamu
udah datang? Udah lama? Kok aku gak ngerasa ya dilihatin begitu” aku nyerocos
panjang namun kaku, sambil meletakkan cangkir kopi di meja.
“Lumayan lama,
tapi aku bilang kan naggung, nanggung menyaksikan ekspresi kamu menikmati
secangkir kopi itu dari sudut jendela sana” Dia menunjukkan jendela pojokkan
tempat dia memantauku dari saat aku menghirup aroma kopi itu pertama kali.
“kamunya aja
gak nyadar, serius banget sendirian” Aku menunduk, merasa bersalah
mengabaikannya dan terlena dengan kenanganku sendiri.
“Gak apa-apa
Ta, semua akan baik-baik saja. Pelan-pelan aja, sama kayak kamu menghirup aroma
Arabika itu, nikmati sampai benar-benar menyatu dalam jiwa. Aku tetap di sini
kok sampai kamu mendapatkan ritme nyamanya untuk merelakan” ucapnya lembut
membuat suasana ini haru.
Ya..Dia bukan Dia!
Bukan Dia yang ku kenal selama masa perkuliahan. Buakn Dia yang
belum sangup ku sebutkan namanya.
Dia yang dihadapanku saat ini adalah Teja, orang
asing yang membantuku ketika aku pingsan di jalan sewaktu mendengar kabar bahwa
dia menjadi salah satu korban yang tertimbun longsong dipendakian gunung
impian kami. Teja adalah orang asing awalnya yang menguatkan aku bahwa semua
akan baik-baik saja. Teja adalah orang asing yang rela menjadi pendengar
terbaikku akan kisah dia yang tak ada habisnya kuceritakan. Teja adalah
orang asing yang terus berusaha membuatku rela akan kepergian dia yang
tanpa sempat ku balas kata terakhir sebelum kami berpisah di kedai kopi siang
itu. Teja adalah orang asing yang akhirnya setelah setahun kepergian dia
bisa ku ajak ke kedai kopi ini tuk mengenang sekaligus merelakan kepergian dia.
Kuputuskan
mengenggam kembali cangkir Arabika aseli itu. Aku tak menghirupnya, tapi
ku letakkan bibir cangkirnya ke bibirku, rasa pahitnya sudah terasa ketika ku
teguk perlahan. Sangat terasa pahitnya, sepahit aku mengenang dia. Namun
aku menikmatinya, sampai tegukan ini berakhir aku tetap menikmati pahitnya yang
kemudian berubah menjadi halus di lidah dan nikmat tiada tara di seluruh jiwa.
Ah..seperti inikah rasa Arabika Aseli. Nikmat! Senikmat aku yang bisa
merelakan kenangan pahit.
“Makasih Ja”
Aku tersenyum kepada dia yang dihadapanku saat ini. Tersenyum manis dan
merasakan nikmat tatapannya.
Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
by. Ana Bahtera