Rabu, 14 Desember 2016

Wanita Pigura itu.


Kunikmati rinai hujan senja ini. air yang turun dari langit luas dan bercumbu dengan alam sehingga menyerap hingga perut bumi yang terdalam. Begitu indah. Aku sangat menyukai hujan. Kenapa? Karena aku selalu berharap dengan adanya aer hujan yang mengalir, rasa sedihku ini juga ikut mengalir, bahkan menghilang dari seluruh urat nadi ini. Ketika hujan datang, luka ini memang ikut menghilang tapi ketika tetesan hujan ini berakhir, luka ini kembali hadir. Apa tidak boleh bersedih?

“nduk, nti kamu masuk angin” suara berat yang begitu ku kenal menegurku, yang sebenarnya pemilik suara itu tau aku tak memerlukan ucapannya dan aku pasti akan terus duduk diteras ini. 
Seperti biasa, pemilik suara itu mendekat dan memegang pundakku seperti hujan-hujan sebelumnya dan akan mengeluarkan kata-kata “tak ada yang perlu disesali, semua itu sudah ketentuan Allah” aku tetap diam, dan seperti biasa pemiik suara itu meletakkan segelas teh hangat disampingku dan berlalu. Kebiasaan selama setahun kebelakang ini di saat hujan. Aku tetap diam. Tak meliriknya sedikit pun. Aku tak membenci dia, tidak pernah sedetikpun membenci pemilik suara itu. Tapi aku membenci wanita yang bersamanya, yang sebulan lalu dibawanya ke rumah ini, kerumah yang semestinya tak ada tempat untuk wanita lain. Aku cemburu? Tidak! Egoku berontak. Aku tak perlu cemburu dengan wanita itu.

Rinai hujan itu berhenti, kuputuskan untuk masuk ke kamar, tetap kubawa segelas teh hangat itu, melewati ruang tamu ku lihat wanita itu sedang bercanda riangnya dengan adikku, Ya! Wanita mana yang tidak bisa mengambil hati anak seusia 5 tahun? Hanya dengan memberikan permen dan mendongeng akan membuat dia tunduk pada wanita itu. Tapi aku bukan anak seusianya. Aku sudah umur belasan dan aku tau kalau cintanya tak sepenuhnya tercurahkan kepada kami. Hanya untuk pemilik suara itu.
“hujannya sudah reda ya nduk?” tanya wanita itu. Basa basi! Dan aku tau itu. Aku hanya mengangguk. Dan aku berlalu, meninggalkan wanita itu yang tetap menatap punggungku sambil berlalu.

Sesampai di kamar kupandangi lagi wajah teduh seorang wanita luar biasa di figura tua ini,memakai baju warna hijau kesukaannya dan kerudung yang senada, poto yang di ambil ketika aku belum genap berusia sepuluh tahun, dengan tatapan mata dan senyuman yang membuat hati ini nyaman, semakin membuatku merindukannya. 
Banyak yang ingin kuceritakan kepadanya. Tentang bimbang hati ini, tentang Ayu teman sekolahku yang ngeselin, tentang rasa yang ku tak tau apa yang selalu muncul ketika kubersama Dian, teman pria di kelasku. Huh! Memikirkannya saja membuat pipi ini panas. Begitu banyak, serta tentang wanita yang datang ke rumah ini secara tiba-tiba seperti ingin menggantikan sosoknya. Sangat banyak. 
Tapi kenapa waktu begitu cepat menjauhkan aku dari wanita di figura ini? “karena Allah lebih sayang padanya” Kata pemilik suara berat itu padaku ketika kami mengantar wanita ini ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku hanya bisa menangis ketika semua orang menyalamiku tapi aku tak mengenal mereka mereka, saat itu Aku hanya menatap gundukan tanah segar itu, dan berharap akan segera bangun dari mimpi buruk itu. Tapi tidak! Hari itu  nyata. Sampai kami pulang kerumah tanpa wanita figura ini dan itu yang membuatku semakin tersadar kalu ternyata kami telah berada di alam yang berbeda. Air mata ini jatuh lagi, tak bisa ku tak menangis bila melihat wanita dalam figura ini, walaupun kejadian itu sudah lebih empat bulan dari tiga enam puluh enam hari.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Ku berjinjit mengendap-endap memasuki kamar pemilik suara berat itu, yang dulunya juga kamar wanita figura ini tapi sekarang telah ditempati oleh wanita baru ini. Lama ku tak masuk ke dalam kamar ini, tak sanggup melihat semuanya akan berubah.
Aku tesigap ketika membuka pintunya, tidak ada yang berubah, masih terdapat bingkai poto kami bersama yang berukuran besar di dinding kamar itu, masih tetap ada bunga kesayangan wanita figura itu di sudut ruangan dan benar-benar tak ada yang berubah, bahkan aroma kamar ini juga masih tetap sama, yang semakin membuatku tercengang dengan tak ada satu pun photo wanita baru itu di dalam kamar ini, bahkan poto ketika mereka mengikat janji setia.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat ke kamar ini, refleks aku bersembunyi agar tak melihat, kupaksa badanku ini merayap di bawah tempat tidur di kamar ini, aku tak ingin terlihat sedang mnegendap-endap dikamar ini. jantung ini seperti ingin berloncatan ke luar demi melihat pria bersuara berat dan wanita itu measuk ke kamar ini.
“Ra, maafkan mas ya” suara berat itu mulai membuka suara, jarak mereka sekitar tiga meter dari tempat persembunyianku dan aku bisa mendengar dan melihat semuanya dengan jelas.
“gak ada yang salah mas, gak ada yang harus dimaafkan, semua ini ketentuan allah, seperti yang pernah mas katakan pada saya” wanita itu dengan berat mengucapkan, terdengar seperti ia menahan tangis.
“tapi itu yang membuat kamu tidak nyaman seperti ini kan? Membuat karir kamu terhambat dan Dia, orang yang kita jumpa barusan sebenarnya pilihan hati kamu”
“tidak mas..tidak..” suara wanita itu tercekat
“Ra, saya tau, dengan melihat tatapan mata kalian berdua saja, saya paham masih ada rasa yang tertinggal” Aku terus menyimak arah pembicaraan mereka yang semakin tak kumengerti maksudnya.
“itu gak sebanding mas, dengan apa yang kudapatkan dari mas dan mbak”
“ini bukan untuk balas budi Ra”
“bukan mas, aku bukan membalas budi kalian karena ku tau aku tak sanggup membalasnya, aku hanya ingin melakukan apa yang aku bisa untuk membahagiakan mas dan mbak dan aku rasa ini yang harus kulakukan. Karena aku tau kebahagiaan kalian ada jika melihat dua anak itu bahagia” begitu tegas suara wanita itu terdengar walaupun semakin serak.
 “udah tiga ratus hari Ra, saya tidak tau berapa lagi sisa waktunya dan apa ini cukup untuk meyakinkan sasa kalau kamu bisa menggantikan sosok ibunya?”
Aku mulai menahan nafas, kenapa ada nama ku? Kenapa dengan beberapa sisa hari ke depan, apa ini seperti taruhan? Apa ini pegadaian? Aku benar-benar belum paham apa yang sedang dipikirkan kedua insan tersebut.
“mas, mbak ina gak bakal bisa tergantikan di hati sasa tapi saya hanya berharap, dia bisa meletakkan saya disudut hatinya yang tersisa” Dia mulai terisak, Aku merasakan ketulusun di setiap kata-kata wanitu itu, tanpa sadar airmata ini ikut keluar juga.
 “dan kita tidak tau rencana allah mas, seratus hari kata dokter mungkin bisa menjadi ratusan tahun jika Allah menghendaki”
Aku mulai memahami pembicaraan ini. Ya Allah! Ini tentang penyakit pemilik suara itu, aku tau dulu Ayah dari dulu sakit tapi tak separah yang kubayangkan. Aku menahan tangisku agar tidak terdengar oleh mereka, selama ini aku benar-benar salah menilai sosok wanita ini. Ya Allah, beri aku waktu untuk meminta maaf kepada keduanya.
-----------------------------------------------------------
Kupandangi gundukan tanah yang segar itu. Ayah juga telah pergi, tak sampai seratus hari sisanya seperti yang dikatakan oleh dokter, Allah mengambil ayah lebih cepat, tanpa ada tanda-tanda yang ditinggalkan, Ayah menghembuskan nafas terakhir dengan tenang seusai shalat subuh tadi pagi. Ayah menyusul Mamak di sana, mungkin mereka diciptakan untu bersama di dunia dan alam selanjutnya. Wanita ini memelukku erat. Aku merasakan kehangatan yang di alirkannya. Wanita ini memeluk kami berdua dengan tegar, walalupun aku tau dia juga tak sekuat kelihatannya, ada sisi rapuh yang disembunyikannya. Makasih ya Allah kau menggerakkkan hatinya tuk mau bersama aku dan adikku.
Dia menuntun kami berdua untuk pulang, kulihat ada beberapa saudara yang berada dibelakang kami, aku tetap diam tak mengatakan apapun. Sebelum sampai ke rumah, gerimis itu turun, melukiskan isi hatiku yang sedang berduka. Kutatap wajah wanita ini dengan seksama, ada kepedihan yang mendalam tampak di wajahnya.
“Ibu” panggilku lirih. Dia tersentak kaget, pasti heran dengan ucapanku. Tapi kuputuskan untuk mengatakannya saat ini, tepat atau tidak tepat.
“kamu mengucapkan apa sa?” katanya hampir tak terdengar, aku tau dia tak percaya denagn ucapanku.
“Ibu” aku menegaskan lagi kata-kata itu, kata yang memang harus ku sematkan padanya.
“bisa Ibu mencarikan sosok Ayah tuk mengisi sudut hatiku yang masih tersisa?” Akhirnya aku mengatakannya, hal pertama yang terlintas di pikiranku ketika melihat gundukan makam ayak tadi.
Dia terkejut dengan airmata yang semakin deras di pipinya, tapi aku tau itu airmata bahagia. Hujan itu kembali datang dan ku tau hujan ini membawa sedihku yang akan digantikan oleh bahagia ketika rinai itu pergi, seperti pelangi yang datang setelah hujan hilang..

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie



Tidak ada komentar:

Posting Komentar